Hikmah Dari Taubat Abu Nawas
Cerita ini datang dari seorang penyair klasik dari negeri arab yang multitalenta dan cukup terkenal pada zamannya ialah “Abu Nuwas”. Jika di Indonesia sendiri orang-orang lebih mengenalnya dengan nama “Abu Nawas”. Nama Abu Nuwas sendiri merupakan julukan yang didapat dari tempat asalnya di Basrah, Irak Selatan. Nama lengkapnya sendiri adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakim dan orang di zamannya juga menyebutnya Abu Ali karena memiliki seorang putra yang bernama Ali.
Ibunya yang bernama Jullaban, memiliki akar keturunan Persia. Sebelum menikah dengan ayah Abu Nawas, Jullaban dulu adalah seorang jariyah (budak perempuan) yang berprofesi sebagai penjahit dan pencuci kain wol dalam rutinitas harian. Latar belakang keluarganya tergolong sederhana; beberapa orang menyebutkan bahwa ia juga menjual ukiran bambu, meskipun tampaknya ia tidak memahami bahasa Arab. Rumahnya bahkan menjadi tempat pertemuan bagi para gadis penyanyi. Ibunya menjadi janda saat Abu Nawas masih bayi, namun tak lama kemudian diketahui menikah lagi dengan seorang pria bernama Abbas. Jullaban hidup lebih lama dibanding putranya, dan saat sang putra meninggal, tanah milik Abu Nawas menjadi hak milik ibunya. Warisan yang ditinggalkan oleh Abu Nawas berupa 200 dinar tunai bagi ibunya tergolong kecil, mengingat prestasinya sebagai seorang penyair yang meraih banyak penghargaan sepanjang hidupnya. Berbeda dengan ibunya, Abu Nawas memiliki penguasaan bahasa Arab yang mendalam. Ia menggeluti profesi penyair untuk menghidupi ibu, istri serta anaknya.
Kisah Abu Nawas juga terdapat dalam cerita 1001 malam atau Arabian Nights yang mana menceritakan seorang penyair bernama Abu Nawas yang cerdik dan fasih dalam berbicara. Ia mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, baik masalah sosial, politik, bahkan keagamaan dengan caranya yang unik dan terkadang nyeleneh. Abu Nawas digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan humoris.
Salah satu karya terkenal dari Abu Nawas dalam dunia Islam adalah Al-i’tiraf, sebuah syair yang masyhur hingga kini. Abu Nawas merupakan seorang penyair dari Timur Tengah yang hidup saat masa pemerintahan Bani Abbasiyah di bawah Harun Ar-Rasyid.
Meskipun ia menciptakan banyak syair pada masa itu, Al-i’tiraf tetap menjadi yang paling terkenal. Dalam syair ini, Abu Nawas mengungkapkan pengakuan dosa-dosanya yang tak terhitung banyaknya kepada Tuhan, dengan setiap hari bertambahnya dosa-dosanya, serta ungkapan taubatnya kepada Tuhan. Semua ungkapannya dirangkai dalam bahasa indah dan bernilai seni melalui beberapa bait syair. Selain sebagai penyair, Abu Nawas juga dikenal sebagai sosok yang memberikan banyak nasihat kepada orang lain. Meskipun humoris, ia sering dipanggil oleh raja untuk memberikan pendapat atau sekadar berbincang. Namun, di antara sifat baiknya, ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka mengonsumsi minuman keras. Banyak cerita dan kisah legenda, Abu Nawas digambarkan sebagai sosok yang suka minum-minuman keras dan melakukan tindakan-tindakan kurang pantas. Oleh karena itu, ada pandangan di masyarakat bahwa Abu Nawas adalah seorang pendosa.
Tampilan Abu Nawas sebagai seorang penyair yang eksentrik menjadi representasi jati diri unik dari wilayahnya di Selatan Arab, membedakannya dari penyair-penyair dari wilayah Utara Arab yang umumnya memiliki penampilan rapi. Bahkan, karena keahliannya sebagai penyair, ia disebut sebagai manifestasi ulang dari tokoh Raja Yaman (wilayah Selatan Arab sebelum Islam), yaitu Dzu Nawas.
Riwayat pendidikan Abu Nawas
Tak lama setelah kepergian ayahnya, saat Abu Nawas masih kecil, Jullaban membawa anaknya ke Kota Basrah, Irak. Keluarga Abu Nawas tidak memiliki banyak peluang untuk mendapatkan finansial yang cukup karena baru saja ditinggalkan oleh pencari nafkah utama yaitu ayahnya. Ternyata, keputusan untuk pindah ini membawa keberuntungan bagi Abu Nawas yang masih muda. Abu Nawas tinggal bersama salah seorang keluarganya bernama Attar yang menjadikan dia menjalankan tugas-tugas yang sesuai dengan usianya. Meskipun ia bekerja, Attar juga merawat dan membimbingnya. Bahkan, Attar memberikan pendidikan agama di sekolah al-Quran. Dengan kemampuan menyerap informasi yang luar biasa dan kecerdasan di atas rata-rata, Abu Nawas berhasil menjadi hafidz (penghafal al-Qur'an) pada usia yang sangat muda. Pengetahuannya yang mendalam tentang al-Qur'an kemudian termanifestasi secara konsisten dalam gaya bahasa puisinya dan beruntungnya Abu Nawas tumbuh menjadi pemuda yang Tampan dan karismatik. Penyair sekaligus kritikus sastra Arab abad ke-9, Ibnu al-Mu'taz, mengatakan bahwa Abu Nawas memiliki pemahaman yang lengkap tentang fiqh dan memiliki otoritas dalam memberikan fatwa hukum. Ia fasih dan hafal dasar- dasar pendapat ahli fiqh, serta mengetahui praktik-praktik pengambilan hukum.
Beberapa di antaranya dapat dirasakan dalam puisi-puisinya. Abu Nawas pun dikenal banyak hafal kitab-kitab hadits. Kemahirannya dalam ilmu al-Qur'an tidak hanya karena ia seorang hafizh, tetapi juga karena ia menguasai ilmu-ilmu al-Qur'an. Abu Nawas belajar menghafal dan ilmu-ilmu al-Qur'an kepada Syekh Abu Muhammad Ya'qub bin Ishaq al-Hadrami sosok guru yang menjadi rujukan qira'at yang menguasai sepuluh model bacaan al-Qur'an yang diakui saat itu. Syekh Ya'qub bahkan menyatakan bahwa muridnya, Abu Nawas, adalah penghafal al-Qur'an terbaik di Basrah. Setelah selesai belajar kepada Syekh Ya'qub, Abu Nawas menghafal Hadits dan belajar ilmu hadits kepada Syekh Abdul Wahid bin Ziyad, Syekh Muktamir bin Sulaiman, Syekh Yahya bin Sa'id al-Qattan, dan Syekh Azhar bin Sa'ad as-Sammani.
Titik balik Seorang Abu Nawas
Abu Nawas memang dikenal sebagai penyair kontroversial. Beberapa sejarawan menuliskan di buku karyanya sosok Abu Nawas yang cabul dan kotor. Tidak jarang Abu Nawas juga mabuk karena minum khamr, sambil mengigau atau berbicara tidak terkontrol dan di saat itu dia suka membangga-banggakan sekaligus membuat puisi tentang minuman yang memabukkan (Puisi khamriyat) dia sering keluar masuk penjara karena puisi yang dibuatnya. Ada suatu kejadian yang membuat Abu Nawas berubah dan seutuhnya mendalami islam, terdapat suatu riwayat yang menceritakan perihal asal-usul perubahan hidup Abu Nawas. Sifat pribadinya yang kasar, ugal-ugalan, tidak bermoral, serta kurang taat pada tuntunan agama, mengakibatkan Abu Nawas diisolasi dari lingkaran agamawan dan komunitas berbudaya. Situasi ini berlangsung hingga suatu malam yang luar biasa atau diyakini malam Qadar dalam bulan Ramadhan.
Ketika memasuki Ramadhan pada usianya yang sudah tidak muda, Abu Nawas tetap melanjutkan kebiasaan minum-minuman keras seperti biasanya. Dalam keadaan mabuk yang parah, tiba-tiba ada seseorang yang tidak dikenal mendekatinya. Dengan minim kata-kata, individu tersebut langsung menegur Abu Nawas: “Hai Abu Hani, jika engkau tidak mampu memberikan nilai seperti garam pada hidangan, sebaiknya jangan menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan.”
Mendengar perkataan ini, Abu Nawas terkejut dan merenungkan perilaku buruknya selama ini. Ia merasa bahwa hidupnya penuh dengan kegelapan dan dosa. Bahkan, Abu Nawas langsung membandingkan dirinya dengan lalat yang jauh lebih hina. Kesadaran tentang pentingnya hidup yang memberi manfaat kepada orang lain, mendorong Abu Nawas untuk mengakhiri kebiasaan buruknya. Dalam suatu kisah menceritakan ketika Abu Nawas meninggal dunia, imam Syafi’i tidak mau mensholati jenazahnya. Namun, ketika jenazah Abu Nawas hendak dimandikan di kantong baju Abu Nawas ditemukan secarik kertas bertulis syair berikut: "wahai tuhanku, dosa dosaku terlalu besar dan banyak, tapi aku tahu, bahwa ampunan mu lebih besar, jika hanya orang baik yang boleh berharap kepadamu. kepada siapa pelaku maksiat akan berlindung dan memohon ampunan. aku berdoa kepadamu seperti apa yang engkau perintahkan. dengan segala kerendahan dan kehinaanku. jika engkau tampik tanganku, lantas siapa yang memiliki kasih sayang? hanya harapan yang ada padaku ketika aku berhubungan denganmu dan aku pasrah setelah ini." Setelah membaca syair tersebut, imam syafi’i menangis sejadi-jadinya dia langsung menjadi imam shalat jenazah dari Abu Nawas.
Berikut Syair I’tiraf Abu Nawas :
إِلٰهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا
Ilahi lastu lil firdausi ahlaa.
(Wahai Tuhanku! Aku bukanlah ahli surga)
وَلَا أَقْوَى عَلَى النَّارِ الجَحِيْم
Wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi.
(Tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahanam)
فهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِي
Fahabli taubatan waghfir dzunuubii.
(Maka berilah aku taubat dan ampunilah dosaku)
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ العَظِيْم
Fa innaka ghafirudz dzambil ‘adziimi.
(Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar)
ذُنُوْبِي مِثْلُ أَعْدَادٍ الرِّمَالِ
Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali.
(Dosaku bagaikan bilangan pasir)
فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَا ذَا الجَلَالِ
Fahabli taubatan yaa Dzal Jalaali.
(Maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan)
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ
Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi.
(Umurku ini setiap hari berkurang)
وَذَنْبِي زَائِدٌ كَيفَ احْتِمَالِي
Wa dzambii zaa-idun kaifah timali.
(Sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya)
إِلٰهِي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ
Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka.
(Wahai, Tuhanku ! Hamba-Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu)
مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاك
Muqarrin bidz dzunuubi wa qad da'aka.
(Dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada-Mu)
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ
Fa in taghfir fa Anta lidzaaka ahlun.
(Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni)
فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاك
Wa in tathrud faman narju siwaaka
(Jika Engkau menolak, kepada siapa lagi aku mengharap selain kepada Engkau?)
Post a Comment for "Hikmah Dari Taubat Abu Nawas"