“Lama Menjajah : Mengapa Bahasa Belanda Tidak Begitu Dikenal ?”
Tahun ini tepatnya 2023, Ibu pertiwi akan berusia 78 tahun. Selama itu tentunya banyak sekali kejadian-kejadian di masa lalu termasuk masa di mana suara belanda menghiasi sekaligus menjadi saksi bisu kisah di zaman penjajahan. Tapi kenapa, berabad-abad dijajah oleh belanda, bahasa Belanda bukan sebagai pilar komunikasi di negara kita ?
Melalui arsip catatan sejarah ini mengajak pembaca memahami bagaimana satu era berubah menjadi era yang tak lagi terucap. Bagaimana kepingan dari periode Hindia Belanda yang begitu erat dengan sejarah negeri ini yaitu “Bahasa” tidak aktif ditemukan di percakapan kita sehari-hari ?
Jika kita lihat negara-negara tetangga seperti Singapura dan juga Malaysia yang pernah dijajah bangsa inggris, bisa berbicara menggunakan bahasa tersebut sampai dijadikan bahasa resmi dan bahasa kedua. Ada juga Lebanon yang masih menggunakan Bahasa Arab dan bahasa Prancis, yang dulunya merupakan wilayah jajahan Prancis. Ada juga Bahasa Arab dan bahasa Prancis yang masih memiliki pengaruh di Maroko, karena Maroko pernah dijajah juga oleh Prancis. Bahasa Portugis masih digunakan di Brasil yang pernah dijajah oleh Portugal. Bahasa ini adalah bahasa resmi dan dominan di negara ini. Tapi kenapa Indonesia berbeda ?
Seorang peneliti juga pernah membahas mengenai hal ini, setelah melakukan penelitian yang mendalam akhirnya dia mendapatkan jawaban sekaligus di abadikan dalam sebuah video yang berjudul “Why Doesn’t Indonesia Speak Dutch ?”.
Penjajahan adalah fenomena yang kompleks dengan berbagai faktor yang terlibat, termasuk tujuan politik, ekonomi, agama, budaya, serta tindakan individu atau kelompok tertentu.
Berdasarkan sejarah, ada perbedaan tujuan dan dampak yang berbeda dari setiap penjajah termasuk penjajahan Belanda dan penjajahan negara-negara Eropa lainnya.
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, pengajaran bahasa Belanda biasanya terbatas pada kalangan tertentu, seperti kaum bangsawan dan kalangan atas semata. Hal ini terkait dengan tujuan kolonial yang lebih berfokus pada eksploitasi sumber daya dan kontrol politik daripada pendidikan umum bagi penduduk pribumi.
Kebijakan ini juga bisa diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan dominasi dan menghindari munculnya perlawanan terorganisir dari masyarakat pribumi. Mengajarkan bahasa Belanda kepada masyarakat pribumi ditakutkan dapat memberikan mereka akses ke dalam perkembangan pemikiran, dan pendidikan, yang mungkin menginspirasi mereka untuk bergerak menuju pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang lebih luas. Hal ini tentu akan merugikan pihak kolonial Belanda. Seperti halnya yang dirasakan oleh Raden Ajeng Kartini atau yang lebih dikenal sebagai R.A. Kartini, merupakan seorang tokoh perempuan Indonesia yang dikenal karena perjuangannya dalam memajukan pendidikan dan hak-hak perempuan pada zaman penjajahan Belanda. Ia juga sempat mengirimkan surat kepada temannya yakni Stella Zeehandelaar tentang kehidupan dan pandangannya di Hindia Belanda. Ia menyoroti permasalahan terbatasnya akses pendidikan bagi perempuan pribumi. Karena Raden Ajeng Kartini berasal dari latar belakang istimewa ia mendapatkan akses untuk belajar Bahasa Belanda sejak kecil. Meskipun begitu, Raden Ajeng Kartini berkali-kali mencatatkan dalam suratnya bagaimana pejabat belanda tidak berbicara bahasa belanda kepadanya padahal mereka tahu latar belakang dan kemampuan bahasa dari Raden Ajeng Kartini itu sendiri.
Meskipun bahasa Belanda tidak menjadi bahasa resmi di Indonesia, beberapa kata dan frasa dalam bahasa Indonesia masih memiliki akar dari bahasa Belanda. Fenomena ini dikenal sebagai “kata serapan” atau “loanwords,” di mana kata-kata dari bahasa asing, dalam hal ini bahasa Belanda, diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa contoh kata serapan dari bahasa Belanda di dalam bahasa Indonesia meliputi:
1.Polisi: Dalam bahasa Belanda disebut “politie.”
2.Rumah sakit: Dalam bahasa Belanda disebut “ziekenhuis.”
3. Kantor pos: Dalam bahasa Belanda disebut “postkantoor.”
4. Gedung: Dalam bahasa Belanda disebut “gebouw.”
5. Dokter: Dalam bahasa Belanda disebut “dokter.”
6. Bioskop: Dalam bahasa Belanda disebut “bioscoop.”
7. Aspal: Dalam bahasa Belanda disebut “asfalt.”
Fakta bahwa Belanda tidak menyebarluaskan bahasa belanda dan mempersempit akses pendidikan bagi pribumi dengan berbagai macam alasan menjadikan bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan nasional dalam proses pembangunan identitas Indonesia pasca-kemerdekaan. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan resmi membantu memperkuat rasa persatuan di antara berbagai kelompok etnis dan budaya di Indonesia.
Bahasa Indonesia secara resmi diresmikan pada 28 Oktober 1928, saat diadakannya Kongres Pemuda II di Batavia (sekarang Jakarta). Pada kesempatan tersebut, para pemuda Indonesia dari berbagai daerah dan latar belakang etnis sepakat untuk menyatukan berbagai ragam bahasa daerah menjadi satu bahasa nasional yang disebut “Bahasa Indonesia.” Keputusan ini diambil dengan tujuan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam upaya melawan penjajahan Belanda. Setelah itu, bahasa Indonesia terus berkembang dan menjadi bahasa resmi negara Indonesia saat kemerdekaan dicapai pada 17 Agustus 1945.
Post a Comment for "“Lama Menjajah : Mengapa Bahasa Belanda Tidak Begitu Dikenal ?”"