Inilah Samiri | Kisah Samiri & Nabi Musa
Samiri disebut dalam Al-Quran surat Thoha ayat 95 yang pada saat itu menceritakan kisah Nabi Musa dan kaumnya yang menyembah patung anak sapi. Samiri merupakan salah-satu contoh dari pengkhianatan dan pembawa kesesatan bagi umat Nabi Musa dan Nabi Harun. Menurut Tafsir Quraish Shihab, kata Samiri di ambil dari lafadz ‘Samirah’ yaitu salah satu suku dari Bani Israil. Dalam Tafsir Al-Azhar bahwasanya Buya Hamka memaparkan bahwa Samiri merupakan orang yang mengaku pengikut dari kaum Nabi Musa. Namun, tidak dengan hati dan tindakannya yang enggan taat kepada Allah SWT.
Pada saat itu, mereka mendapatkan nikmat dari Allah berupa Mana Wa Salwa (Makanan yang nikmat) tapi karena keserakahan mereka dan rasa tidak bersyukur kepada Allah akhirnya mereka kembali meminta agar Allah menukar nikmat Mana wa Salwa dan digantikan kacang-kacangan, mentimun, sayur-sayur, bawang merah dan bawang putih. Itulah yang mereka inginkan sehingga membuat Nabi Musa Alaihissalam kembali kecewa melihat sebagian umatnya meminta hal yang demikian.
Nabi Musa Bermunajat ke Gunung Tursina
Singkat cerita, Nabi Musa Alaihissalam diperintahkan oleh Allah untuk ke bukit Tursina selama 30 hari kemudian disempurnakan menjadi 40 malam. Suatu ketika, Nabi Musa Alaihissalam setelah mendengar suara Allah SWT langsung dengan telinga beliau maka beliau pun rindu ingin mendengar atau bukan hanya ingin mendengar suara Allah akan tapi ingin melihat wajahnya dan itu suatu hal yang mustahil di dunia dan pada saat itu juga Nabi Musa Alaihissalam diperlihatkan untuk melihat ke arah sebuah gunung agar Nabi Musa bisa melihat Allah. Akan tetapi, di saat Allah tampakkan wajah kepada gunung tersebut sehingga gunung tersebut pun hancur menjadi debu dan ternyata Nabi Musa pun tak kuasa melihatnya hingga jatuh pingsan. Maka saat itulah Nabi Musa Alaihissalam meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan beliau mengucapkan “wa Ana awwalul mukminin” Aku adalah orang yang pertama kali beriman dari kalangan umat ini. Di saat Nabi Musa Alaihissalam sedang bermunajat kepada Allah ternyata umatnya melakukan kesyirikan yaitu menyekutukan Allah dengan menyembah anak sapi. Dalam Tafsir Ibnu Katsir membawakan ayat dari surat Toha beliau mengawali dari ayat ke yang ke-83 “Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan “Dan mengapa engkau datang lebih cepat daripada kaummu, wahai Musa”
Dia (Musa) berkata, “Itu mereka sedang menyusul aku dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Thaha ayat 84)
Lanjutan ayat selanjutnya yaitu Allah menyampaikan kepada Musa
Dia (Allah) berfirman, “Sungguh, Kami telah menguji kaummu setelah engkau tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.”
Sepeninggalan Nabi Musa ke bukit Tursina, Beliau menitipkan Bani Israil kepada saudaranya yaitu Harun. Harun menjadi pemimpin Bani Israil karena Nabi Musa Alaihissalam telah dipanggil oleh Allah berjumpa dengan Allah di bukit Tursina sampai batasan waktu yang telah ditentukan untuk bermunajat. Selama 30 hari disempurnakan menjadi 40 malam maka selama masa-masa itulah ternyata Bani Israil mereka membangkang kepada Harun. jika Bani Israil membangkang kepada Musa Alaihissalam maka otomatis mereka akan lebih berani kepada wakilnya yaitu Harun. Saat Nabi Musa di bukit Tursina beliau sudah diberitahu oleh Allah dalam bahwa kaumnya diuji dengan memberikan fitnah yang disampaikan oleh Samiri. Mengetahui itu sangat marah dan ketika Nabi Musa kembali mendatangi kaumnya. Setibanya disana Nabi Musa langsung menghampiri Nabi Harun seraya menarik rambut dan jenggot Nabi Harun dan berkata,
“Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” (Surat Thaha: 92-93)
Kemudian Nabi Harun menjawab, “Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku.” (QS Thaha: 94)
Pada saat itu Nabi Harun menjelaskan bahwa beliau bukanlah mendurhakainya atau membiarkan tindakan para penyembah anak sapi, melainkan beliau tidak ingin meninggalkan mereka dan pergi begitu saja. Nabi Musa bertanya mengapa Nabi Harun tidak menjaga keimanan mereka. Nabi Harun pun menjawab bahwa beliau khawatir apabila melawan mereka dengan kekerasan, maka hal itu akan menyulut perang saudara.
Ditanya lagi oleh Nabi Musa, mengapa Nabi Harun membiarkan mereka terpecah-belah dan tidak menunggu sampai beliau kembali. Nabi Harun menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku) ‘kamu telah memecah belah Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku.” (Surat Thaha: 94)
Nabi Harun lanjut meminta agar Musa AS melepaskan kepada dan jenggotnya agar kaumnya tidak semakin meremehkannya, seperti dalam Surat Al-A’raf ayat 150 :
“Harun berkata, ‘Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka mau membunuhku. Oleh karena itu, janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim’.”
Musa AS sadar bahwa beliau telah menzalimi Harun AS dengan kemarahannya, lalu Nabi Musa melepaskan genggamannya itu dan memohon ampun kepada Allah SWT untuk dirinya dan saudaranya.
Beliau kemudian bertanya kepada kaumnya, “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjian denganku?” (QS Thaha: 86)
Kemudian Nabi Musa mengalihkan pandangan kepada Samiri, dan menuturkan, “Apa yang mendorongmu berbuat demikian, wahai Samiri?” (QS Thaha: 95)
Samiri merupakan orang yang pintar bermain kata dan menjawab pertanyaan Nabi Musa. “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya.” (QS Thaha:96)
“Aku melihat Jibril mengendarai kudanya, dan setiap benda yang tersentuh oleh kaki kuda itu menjadi hidup.” Lanjut Samiri.
Samiri kembali menjelaskan, “Maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul (Jibril). Lalu aku melemparkannya (mencampurkannya ke dalam emas). Dan demikianlah nafsuku membujukku. (QS Thaha: 96)
Mendengarnya, Musa AS kemudian memberi sanksi kepada Samiri, sesuai yang disebutkan dalam Surat Thaha ayat 97. “Pergilah kau! Sesungguhnya di dalam kehidupan (dunia) engkau (hanya dapat) mengatakan, ‘Jangan sentuh (aku).’ Engkau pasti mendapat (hukuman) yang telah dijanjikan (di akhirat) yang tidak akan dapat engkau hindari. Lihatlah tuhanmu itu yang tetap engkau sembah. Kami pasti akan membakarnya, kemudian sungguh kami akan menghamburkan (abu)-nya ke laut.”
Ahli tafsir menerangkan hukuman yang Nabi Musa berikan ke Samiri dalam ayat di atas, yakni menempatkan Samiri di wilayah terpencil agar tidak dapat mendatangi Musa AS beserta kaumnya sebagai sanksi di dunia. Sementara di akhirat, Samiri akan ditempatkan di neraka lantaran perbuatannya yang menyesatkan Bani Israil.
Wallahu a’lam.
Referensi
http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/15221/
https://tafsiralquran.id/kisah-pengkhianatan-samiri-dalam-al-quran/
http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/alihkam/article/view/1259
Post a Comment for "Inilah Samiri | Kisah Samiri & Nabi Musa"